Saturday, November 14, 2009

Sejarah Tata Ibadah HKBP Bag X

Tata Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya

10. Revisi: Saran dan Usul.

Pertama, tata ibadah HKBP yang dipakai sejak awal pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat yang berasal dari hasil pekabaran Injil Jerman ( RMG ) sejak 1860-an sudah menjadi bagian hidup bahkan menjadi identitas teologis dan praktis dari HKBP. Tata ibadah itu sudah pernah mengalami revisi seperti diindikasikan oleh ceramah F.Tiemeyer 1936; sebuah ceramah diantara Agenda edisi 1904 dan Agenda edisi kini ( misalnya cetakan 1998 ).

Mungkin tata ibadah itu sudah pernah mengalami beberapa kali perubahan yang tidak terlampau signifikan. Dan antara tata ibadah 1904 dan 1998 ditemukan terdapat perubahan yang signifikan, namun karena tuntutan perubahan yang berkesinambungan,maka sudah sewajarnya tata ibadah kini harus mengalami revisi, supaya gereja HKBP menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, sebagaimana dijanjikan oleh HKBP sejak tahun 2002, sejak Tata Gereja 2002 disahkan oleh Sinode Godang HKBP 2002.

Kedua, hal-hal yang fundamental yang dirindukan oleh para pendahulu kita, dalam hal ini F.Tiemeyer dan J.Sihombing, serta para pemikir teologi masa kini, hendaknya menjadi acuan bagi revisi tersebut. Hal-hal yang fundamental itu, a.l. (1) otoritas Tuhan Allah yang tidak bisa dikurangi oleh otoritas siapapun ( kata kunci F.Tiemeyer: menghindarkan supaya jangan terjadi : “ibadah – tanpa Allah” ( “Gottesdienst – ohne Gott” ); ( 2 ) berpusat pada firman Allah yang dibaca, dikhotbahkan dan diterima melalui kedua sakramen; (3) berangkat dari “imamat am orang-orang percaya” – seorang liturgis ( pendeta atau partohonan lainnya ) adalah sama di hadapan Allah dan dihadapan jemaat yang berkumpul; (4) kasih dan anugerah Allah yang mengalir dari mata acara pertama hingga mata acara terakhir, karenanya seorang pun tidak dapat mengandalkan kebolehannya / perbuatannya yang baik; (5) nyanyian pujian, paduan suara, dan musik instrumen adalah sarana untuk menyampaikan isi alkitabiah, bukan isi emosional kemanusiaan atau penampilan selebriti oknum-oknum yang membawa mata acara ibadah; (6) seluruh hidup ini adalah ibadah, baik ibadah dalam gedong gereja maupun di luar gedung gereja, yaitu di rumah dan di tempat kerja sebagai ibadah moral ( kesucian hidup ) yang peduli melawan ketidakadilan social, kemiskinan dan kebodohan; (7) menyentuh secara utuh hidup ini, yaitu baik pikiran, hati dan perasaan, tanpa jatuh pada sikap yang merugikan akal budi manusia yang selalu mencerahkan itu, tidak jatuh pada ekstase, mistisisme atau aliran New Age; (8) ibadah yang menjaga keutuhan, keseimbangan dan komunikasi timbal-balik; (9) ibadah yang lebih mencerminkan kuasa Injil yang mengikat dan membebaskan ketimbang kuasa Hukum yang menghakimi.

Ketiga, berdasarkan hal-hal yang fundamental di atas, maka ada beberapa unsur yang perlu diganti, a.l. daftar pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang mau dibaptis, yang akan atau mengikuti janji sidi, perjamuan kudus, calon suami – isteri pada acara pemberkatan nikah, agar dengan demikian nampak kuasa Injil yang mengikat dan sekaligus membebaskan itu dan sekaligus menampakkan keceriaan, sukacita dan bukan beban yang sangat menekan bersangkutan. Hal serupa hendaknya dipikirkan dalam bidang siasat gereja.

Keempat, tentang perbedaan susunan mata acara ibadah dalam kedua Agenda HKBP ( 1904 dan 1998 ), bisa tetap dipertahankan sebagaimana susunannya dalam Agenda 1998 atau kembali pada susunan dalam Agenda 1904 , karena tidak mengurangi arti dan makna hal-hal yang fundamental dalam sebuah tata ibadah injili, misalnya dalam penempatan “tingting” ( warta jemaat ) sesudah ( 1904 ) atau sebelum ( 1998 ) khotbah. J.Sihombing memberikan alasan teologis buat penempatan “tingting” sebelum khotbah.

Kelima, mata acara tentang Hukum Taurat dapat juga dipertahankan, tanpa jatuh pada sikap yang berlebihan akan fungsi Hukum yang sering dipakai untuk memisahkan mereka yang melanggar hukum gereja dari mereka yang tidak ketahuan melanggarnya, misalnya dalam pemakaian hukum “siasat gereja” HKBP. Mata acara ini juga sudah hadir dalam tata ibadah sejak abad-abad pertengahan. Dan sehubungan dengan fungsi siasat gereja itu yang sangat sarat dengan muatan hukum yang berangkat dari sikap “hitam – putih”, yang dikenakan pada seseorang, maka dalam rangka revisi Agenda HKBP, sudah sewajarnya juga kehadiran siasat gereja ini dipikir ulang, apakah masih relevan secara teologis dan praksis bagi gereja yang hidup dalam era post-modern ini. Perbuatan tentang “dosa struktur” ( social ) tidak masuk dalam perhatian hukum gereja seperti tercermin dalam siasat gereja itu.

Keenam, upaya merevisi tata ibadah HKBP, rupanya sama dengan upaya mencari teologia gerejawi HKBP sebagai suatu kekuatan atau kelemahan dalam dirinya sebagai bagian dari Gereja Tuhan di dunia ini. Artinya, HKBP pada usia menjelang 150 tahun ( 1861 – 2011 ) patut berupaya untuk merumuskan kembali teologia apa yang harus mendasarinya supaya HKBP menjadi sebuah gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka sesuai dengan visi dan misinya. Merevisi tata ibadah HKBP dengan demikian adalah bagian dari upaya berteologia di kalangan HKBP bersama-sama dengan gereja-gereja yang sama-sama pewaris tradisi yang ditanamkan oleh para misionaris Jerman ( RMG ) 147 tahun lampau di Tanah Batak yang plural itu.



Read More......

Sejarah Tata Ibadah HKBP Bag IX

Tata Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya

9. Pandangan para pemerhati tata ibadah kini.

Di bawah ini akan diperkenalkan berbagai opsi tentang ibadah yang sejati, yang injili sebagaimana dilihat oleh para pemerhati dari bidang Teologia. Tujuannya ialah bukan untuk membuat sebuah perbandingan , tetapi untuk semakin memantapkan pemahaman teologis dan praktis sebagaimana diharapkan oleh F.Tiemeyer , yang mewakili suara para pelaku pengadaan buku Agenda HKBP. Dengan demikian kita pun tertolong untuk menggunakannya sebagai bahan acuan dan referensi untuk merevisi tata ibadah HKBP.
Sepintas terkesan bagi kita, alangkah dekatnya pendekatan dan pemahaman dari para generasi misionaris Jerman tersebut dengan opsi-opsi yang disajikan oleh para pemerhati kini. Baik pikiran “lama” maupun pikiran “baru” tersebut cenderung untuk mendorong kita untuk memikirkan ulang dasar-dasar teologis dan praktis serta bentuk dari tata ibadah HKBP untuk masa depan.

9.1. Andar Ismail. Beliau membuat opsi yang sangat jelas dan sederhana, yaitu adanya tiga kaidah ibadah yang injili: (1) Kaidah keutuhan. Keutuhan semua mata acara ibadah mulai dari awal hingga yang akhir. Artinya, hakikat bagian awal ibadah adalah undangan pihak Tuhan Allah dan kedatangan pihak jemaat atau umat. Bagian awal ini dicerminkan oleh pujian, penyesalan, perendahan diri, pengakuan dosa, permohonan, dan pemberitaan anugerah. Kemudian sapaan Allah adalah bagian yang kedua, dicerminkan oleh: pembacaan Alkitab, khotbah, dan sakramen. Dan akhirnya ditampilkan bagian yang terakhir, yang dicerminkan oleh: pengakuan iman, persembahan, dan doa syafaat. Dengan menampilkan sebuah ibadah yang utuh, maka setiap anggota jemaat akan diberi kesempatan untuk menempuh perjalanan rohani / spiritual bersama dari jemaat /umat yang berkumpul itu. Asumsi kita, paparan F.Tiemeyer akan mendudukung usulan ini, yaitu menampilkan keutuhan dari semua mata acara ibadah injili itu, sekalipun urutan mata acara itu menampilkan perbedaan. Tata ibadah 1904 dan opsi Ismail sama-sama tidak menampilkan mata acara pembacaan Hukum Taurat; artinya penampilan Hukum Taurat dalam tata ibadah HKBP edisi 1998 adalah perkembangan berikutnya. Tata ibadah 1904 menempatkan mata acara pengakuan iman sebelum mata acara khotbah, sedang Ismail menempatkannya sesudah khotbah; apa pun alas an masing-masing, kalau secara teologis – praktis alas an-alasan tersebut tidak bakal bertentangan,tergantung pada penekanan dari hakikat Hukum Taurat itu sendiri, karena Hukum Taurat merangkum Hukum Kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, jadi bukan menonjolkan muatan yang berlebih-lebihan akan tuntutan kehidupan moralistis-individualistis, yang cenderung menggambarkan dunia gelap yang penuh kuasa iblis yang harus dijauhkan oleh setiap orang percaya. Dengan kalimat Tiemeyer, Gereja harus mempertahankan adanya ketengangan indah / dialektis antara keterikatan dan kebebasan yang bersumber dari firman Allah yang dibaca dan dikhotbahkan itu. (2). Kaidah timbal-balik. Artinya, ibadah yang menampilkan adanya irama gilir-ganti, timbal-balik atau sahut menyahut. Ini nampak dalam mata acara votum: Allah menyatakan kehadiran-Nya, yang segera disambut oleh jemaat / umat; pembacaan Alkitab atau khotbah yang melambangkan firman Allah, yang segera disambut jemaat / umat dengan sikap bersaat teduh. Dengan kata lain, Allah menyapa dan jemaat menjawab. Atau jemaat bicara dan Than menjawab. Ketika jemaat berdoa, nampak bahwa jemaat bicara dan Allah mendengar, sekaligus berbisik kepada jemaat dan jemaat berdiam diri mendengar bisikan Allah. Dalam kaidah timbale-balik itu jemaat menampakkan diri sebagai subjek yang aktif, bukan pasif, sebgaimana diduga oleh sebagian orang. Tata ibadah HKBP 1904 dan 1998 menampakkan kaidah timbale-balik tersebut, sekalipun sering dikaburkan oleh banyaknya paduan suara yang memuji Tuhan bersama-sama dengan jemaat. Apa fungsi sebuah nyanyian paduan suara itu, seharusnya Gereja harus memberikan penjelasan teologis – himnologis kepada setiap paduan suara itu, yang memang adalah sebuah kekayaan rohani bagi setiap jemaat yang beribadah. (3). Kaidah keseimbangan. Dalam ibadah terjadi peristiwa di mana dua pihak yang berinteraksi, keduanya dalam tataran yang sama, “tidak ada pihak yang lebih dominan dari yang lain ”, demikian Ismail. Maksunya ialah supaya jangan kita misalnya terus menyanyi tanpa hentinya, atau supaya setiap doa jangan berkepanjangan atau supaya khotbah jangan mendominasi panjangnya kebaktian. Menjaga keseimbangan mata acara dalam sebuah ibadah haruslah dijaga, supaya tercipta apa yang didambakan oleh Rasul Paulus untuk jemaat Alkitab saat Paulus melakukan kata bimbingannya supaya ibadah itu “harus berlangsung dengan sopan dan teratur”. ( 1 Kor. 14:30 ). Kaidah ketiga ini pun sangat membantu gagasan merevisi tata ibadah HKBP yang sering tidak lagi mencerminkan kaidah keseimbangan ini. Kaidah keseimbangan menjadi salah satu factor penentu dalam membuat sebuah ibadah yang injili di tengah-tengah jemaat HKBP.

9.2. John Stott. Beliau mendahulukan pemikirannya tentang kewajiban manusia yang utama dan terutama, yaitu kewajiban kepada Tuhan dan bukan kewajiban kepada sesama. Tidak semua orang Kristen adalah penginjil, tetapi semua mereka adalah pendoa, orang yang beribadah, baik secara pribadi maupun secara public. Dan ibadah kepada Tuhan adalah kekal dan seluruh hidup kita adalah ibadah, artinya melayani Tuhan dengan seluruh hidup kita. Dan definisi alkitabiah yang paling tepat untuk pemahaman demikian, mungkin demikian beliau berasumsi ialah dengan mengutib Maz. 105:3, bahwa beribadah adalah “’bermegah dalam namaNya yang Kudus.’” Di dalam nats ini terbungkus dengan rapi nama Allah yang kudus itu, artinya berbeda dengan dan mengatasi semua nama lain di dunia dan di surga, atau di mana saja yang dapat dibayangkan manusia. Begitu kita menatap sejenak kekudusan nama-Nya yang agung, kita melihat betapa tepatnya “’memuliakan’” atau bermegah di dalamnya, tidak ada pilihan lain hanya sujud di hadapan-Nya. Sudah selayaknyalah kita manusia bergabung dengan seluruh ciptaan Allah untuk memuliakan-Nya, karena Dialah Pencipta dan Penebus kita ( Wahyu 5:9-14). Sudah selayaknyalah kita manusia dengan seluruh ciptaan-Nya “’bersujud menyembah kepada tumpuan kaki-Nya’” ( Maz.99:5).
Berangkat dari definisi alkitabiah di atas, maka ada empat ciri utama bagi sebuah ibadah yang sejati, yaitu: (1) “ibadah sejati adalah ibadah alkitabiah, artinya ibadah itu merupakan tanggapan terhadap pewahyuan alkitabiah.” Itu berarti bahwa pembacaan firman Allah dan khotbah bukanlah mata acara sampingan atau barang asing, tetapi justru merupakan mata acara yang hakiki. Adalah suatu hal yang wajar, ketika nats dibacakan dan khotbah disampaikan, maka jemaat akan sibuk membuka halman Alkitab untuk menemukan dan mengikuti nats yang sedang dikhotbahkan. Ibadah yang sejati harus memberi kesempatan bagi jemaat untuk merespons, menanggapi firman Allah yang dibaca dan dikhotbahkan itu, dan oleh karena itu maka para pengkhotbah harus mempersiapkan khotbahnya dengan sempurna.
(2) “ibadah sejati adalah ibadah jemaat kolektif.” Artinya, ibadah yang menyenangkan Tuhan dipersembahkan bersama-sama oleh jemaat / umat-Nya, yang berkumpul untuk melakukannya. Lebih jauh lagi, Stott mengusulkan supaya ibadah jemaat local itu “seharusnya mengungkapkan cirri internasional dan intercultural tubuh Krstus.” Saran beliau bagi jemaat-jemaat local yang homogen seperti HKBP ialah supaya gereja-gereja yang homogen itu sadar bahwa “setiap gereja satuan homogen harus mengambil langkah aktif untuk memperluas persekutuannya, agar dapat menampakkan secara kelihatan kesatuan dan keragaman gereja.” Dalam pemahaman demikianlah, maka sudah sewajarnya gereja-gereja anggota PGI menyambut baik upaya PGI untuk merayakan sebuah hari Minggu dengan memakai tata ibadah dari salah satu anggota gereja-gereja PGI.
(3) “ibadah sejati adalah ibadah rohani.” Ciri ketiga ini mau mengingatkan gereja supaya jangan mudah jatuh pada formalisme dan kemunafikan ibadah orang Israel. Gereja-gereja sepanjang abad sering jatuh pada formalisme dan kemunafikan itu. Ini nampak misalnya dalam ibadah yang hanyalah ritus tanpa realitas, bentuk tanpa kuasa, berjalan begitu saja, mekanis, asal jadi, kesenangan tanpa rasa takut akan Tuhan, agama tanpa Allah. Kritik ini senada dengan kritik yang disampaikan oleh F.Tiemeyer 72 tahun lalu ( 1936 ) dengan ucapanyang selalu beliau ulangi : “ibadah – tanpa Allah” ( “Gottesdienst – ohne Gott “ ). Stott sangat menggarisbawahi bahasa alkitabiah “takut akan Tuhan”. Kata kunci ini menyimpan makna yang terdalam akan kerinduan manusia untuk menggapai yang transenden, sebagamana dirindukan oleh Gereja maupun gerakan-gerekan baru kekristenan, seperti gerakan New Age, gerakan yang mencampurbaukan berbagai macam kepercayaan – agama dan sains, fisika dan metafisika, panteisme purba dan optimisme evolusioner,astrologi, spiriteisme, reinkarnasi, ekologi dan pengbatan alternative; gerakan yang sadar akan keterbatasan materialisme, yang tak dapat memuaskan roh manusia. Menghadapi kerinduan manusia modern dan post-modern ini, Stott mengharapkan supaya Gereja dapat menawarkan ibadah rohani, yang dapat mengungkapkan unsure “misteri”, seperti “rasa tenang yang sejati”, atau dalam bahasa alkitabiah “takut akan Tuhan”. Beliau tidak dapat mengharapkan banyak dari kaum injili yang mengutamakan pengabaran Injil sebagai speliasasi mereka. Kaum Injili, demikian beliau, “hanya punya sedikit rasa tentang kebesaran dan keagungan Allah yang Mahakuasa. … tidak bersujud di-hadapan-Nya dengan kagum dan gentar.” Kritik ini menjadi tantangan bagi gereja-gereja arus utama, termasuk HKBP, supaya berhasil menampilkan sikap rohani, sikap “rasa takut keada Allah yang Mahakuasa” itu.
Masih banyak buku-buku yang dapat dipakai untuk diskusi selanjutnya tentang dasar-dasar teologis sebuah tata ibadah, tetapi kedua buku di atas pun sudah memadai untuk memberikan orientasi ke masa kini dan masa mendatang.


Read More......

Sejarah Tata Ibadah HKBP Bag VIII

Tata Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya

8. Tugas kita kini.

Beberapa masalah teologis dan praktis yang diliput dari paparan-paparan diatas, menjadi tugas Gereja masa kini. Di bawah ini akan disebut beberapa yang paling penting.

Pertama, adanya kecenderungan kearah pemahaman yang bersifat individualistis dan moralistis tentang “pengakuan dosa” dan tentang “Hukum Taurat” , seperti tercermin dalam doa-doa. Pertanyaan yang mungkin diajukan ialah, di mana akarnya mengapa demikian? Apakah karena pengaruh kehidupan yang “pietistic” abad-abad ke-18 dan ke-19, sekalipun F.Tiemeyer ingin menghindar dari bahaya Pietisme itu? Apakah ketegangan ( dialektis ) dari Injil dan Taurat masih tercermin dalam keseluruhan mata acara ibadah itu? Apakah tata ibadah hari Minggu (HKBP ) terlampau “cerah” ( “nuechtern” ) seperti diinginkan oleh J.Calvin - menurut pantauan Tiemeyer? Bagaimana caranya menerapkan apa yang diharapkan Tiemeyer, supaya firman Allah yang dikhotbahkan itu benar-benar “mengikat” dan sekaligus “membebaskan”? Inilah beberapa pertanyaan teologis dan praktis yang dituntut oleh refleksi akan dasar-dasar teologis dari tata ibadah edisi dulu ( 1904 ) dan kini ( 1998 ). Suatu masalah yang sulit untuk dikritik oleh F.Tiemeyer yaitu tentang ajaran-ajaran katekisasi yang berpusat pada upaya untuk merubah pikiran, karakter dan mental orang-orang Kristen ( Batak ) yang masih kuat dikuasai oleh hidup “kekafiran” yang memang mereka sudah tinggalkan secara formal melalui berbagai ibadah, baptisan kudus dan perjamuan kudus, dan melalui penggerejaan seluruh penggalan kehidupan mereka mulai lahir hingga kematian, sebagaimana tercermin dalam berbagai tata ibadah dalam Agenda 1904. Prioritas utama bagi setiap misionar ialah bagaimana supaya hidup setiap orang Kristen itu dapat digarami dan disinari oleh Injil dari dalam diri mereka masing-masing. Dengan tujuan merubah kehidupan dari dalam, dan bukan hanya dari luarnya. Dan mungkin semangat pietisme dari Eropa menjadi dambaan para misionaris,namun hanya dari segi pertobatan secara individualistic tanpa ada kepedulian pada dunia sekitar yang dilanda banyak maslah social dan ketidakadilan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat pribadi yang tercantum dalam tata ibadah baptisan, perjamuan kudus, dan juga pembacaan Hukum Taurat setiap Minggu mengisyaratkan tujuan penginjilan yang moralistic – individualistic itu. F.Tiemeyer tidak mengajukan pemikiran yang kritis tentang hal ini, tetapi sudah mengajukan dasar-dasar teologis yang bukan pististik moralistic, tetapi mengedepankan Injil yang mengikat dan sekaligus membebaskan itu, seperti beliau canangkan dalam ceramahnya 1936 itu. Tetapi beliau secara tidak langsung sudah merindukan adanya revisi tata ibadah yang lebih mengacu pada dasar-dasar teologis dan praktis yang lebih reformatories, bukan yang tetap melekat pada semangat penginjilan yang pietistic – moralistis, yang cenderung sangat menekankan Hukum ketimbang Injil. Asumsi kita ialah bahwa situasi jemaat-jemaat HKBP 2008 sudah berbeda dengan situasi jemaat-jemaat 1936. HKBP 1936 persis merayakan 75 tahun HKBP, dan tahun 2011 mendatang HKBP akan merayakan jubileum 150 tahun hari jadi HKBP yang sekaligus 150 tahun pengkristenan di Tanah Batak. Tata ibadah mendatang harus memperlihatkan semangat yang lebih mencerminkan kuasa Injil ketimbang kuasa Hukum, karena RohTuhan berembus kemana Roh itu inginkan.

Kedua, adanya kecenderungan untuk menyesuaikan cara pemakaian tata ibadah yang cenderung ingin memenuhi kebutuhan ( “selera” ) jemaat yang menginginkan sebuah ibadah yang lebih menyentuh budaya hidup yang didominasi pesta budaya / adat Batak, yang dinikmati bukan oleh pikiran tetapi oleh hati yang merasa. Diskusi kea rah ini sudah pernah disinggung oleh Rapat / Konferensi para misionaris Jerman tahun 1936 di Sipoholon. Antara lain disebutkan, bahwa dalam Konferensi tersebut muncul beberapa pikiran kritis: supaya diadakan beberapa model tata ibadah ( liturgy ), mwnghias dinding gereja dengan beragai gambar-gambar dari cerita Alkitab , supaya memperbanyak yanyanyian gereja , membuat tata ibadah di mana porsi khotbah dikurangi,dan mengedepankan aspek merayakan dalam ibadah, bentuk gedung gereja yang lebih megah, membuatkan ibadah gerejawi buat perayaan musim panen dan musim menanam. Inilah beberapa usul perbaikan tahun 1936. Dan usul perbaikan tahun 2008 ini akan memperhitungkan kritik jemaat terhadap tata ibadah hari Minggu HKBP serta upaya HKBP untuk menyambut keinginan jemaat akan sebuah tata ibadah yang lebih santai, lebih dekat pada persaan hati ketimbang pada pikiran. Berapa jauh Gereja dapat dan harus memasuki jiwa mistik dan misteri yang dijiwai oleh manusia Indonesia? Aspek mistik dan misteri ini diduga bakal semakin kuat oleh karena pengaruh ibadah / kultus Islam di Indonesia dan juga oleh pengaruh tata ibadah Kristen Kharismatik. Mungkin khotbah dan pengajaran yang disajikan itu terlampau didominasi oleh pikiran yang dingin dan kurang mempedulikan emosi ( “Gemuet” ) para pendengarnya, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian anggota jemaat gereja-gereja arus utama tarmasuk HKBP. Demikian beberapa pemikiran yang disampaikan, yang perlu dikaji ulang pada kesempatan ini. Pikiran kritis tahun 1936 dan tahun 2008 ini dapat menjadi kekuatan bagi para pelayan HKBP dalam membentuk beberapa bentuk tata ibadah hari minggu tetapi selalu menghargai hal-hal yang fundamental bagi sebuah tata ibadah injili. Hal ini akan dilihat lebih lanjut dari uraian berikutnya dalam paparan ini.

Ketiga, Pertanyaan yang menyoroti cara-cara pemakaian yang tidak lagi mendukung hakekat injili dari ibadah Minggu, seperti terjadi tahun 1936 itu, semakin mengemuka dan semakin nyaring pada zaman, di mana kita hidup, terutama sejak gerakan Kristen Kharismatik memasuki kehidupan beribadah anggota-anggota jemaat dari gereja-gereja arus utama di Indonesia sejak tahun 1970-an. Memudarnya keheningan yang berpusat pada kehadiran Tuhan Allah yang bertindak dan respon manusia yang berdosa sekaligus diampuni dosanya, manusia yang bebas oleh Injil dan sekaligus terikat oleh tuntutan Hukum Allah ( Taurat ). Penyebabnya, a.l. banyaknya paduan suara yang mempersembahkan lagu-lagu pujian yang tidak mendukung mata acara ibadah, warta jemaat yang terlampau bertele-tele, kesiapan para liturgis untuk membacakan sekaligus menghayati mata acara ibadah, banyaknya pengumpulan dana melalui kantong-kantong persembahan, khotbah yang kurang focus dan terlampau dogmatis, praktek lelang yang melelahkan dan menonjolkan kompetisi antara yang melakukan lelang, dll. Pertanyaan yang harus dijawab ialah, bagaimana caranya mengembalikan keheningan itu, keteraturan, kehadiran Allah yang bertindak, pelayanan Yesus Kristus yang tidak suka dilayani, gerakan Roh Kudus yang seperti angin, yang tidak bisa dikendalikan upaya manusia secara ritus atau mistis, sehingga mata acara ibadah itu mengalir seperti air yang menyejukkan pikiran dan hati para pengunjung ibadah, sehingga mereka benar-benar bertemu dengan Tuhan Allah yang mengundang mereka memasuki rumah Allah? Bagaimana membentuk sebuah tata ibadah yang mencerminkan keseimbangan antara makanan pikiran ( dogmatis / teologis ) dan makanan hati / emosi, kesembangan antara yang cerah dan yang emosional – selebritis, keseimbangan antara yang penuh keheningan dan yang bersemangat perayaan penuh suka cita? Bentuk tata ibadah yang tetap hikmat dan mulia masih diinginkan oleh sebagian anggota jemaat gereja arus utama termasuk HKBP. Inilah seperangkat pertanyaan yang bersifat teologis dan praktis. Hadirnya kelompok-kelompok paduan suara dalam ibadah minggu hendaknya mendukung dasar-dasar terologis dari sebuah ibadah injili itu, bukan sebaliknya mengaburkannya, demikian juga mata acara lainnya, seperti isi warta jemaat.

Keempat, perlunya mencermati pertanyaan-pertanyaan kritis tahun 1936 yang dikemukakan oleh F.Tiemeyer sebagai suatu cara memperkaya diskusi tahun 2008 ini. Beliau mengangkat pertanyaan-pertanyaan kritis yang beliau ajukan pada pemahaman akan bagian-bagian liturgy lainnya, yang tak terpisahkan dari liturgy ibadah hari Minggu dan hari-hari kegerajaan lainnya menurut kalender gerejawi sepanjang abad itu. Beliau menyoroti keabsahan teologis dan praktis dari ibadah yang menyangkut: ibadah naik sidi, baptisan, pemberkatan nikah, perjamuan kudus, pemakaman, pengucilan, dan ordinasi pendeta. Pada kesempatan ini akan diambil sorotan beliau tentang naik sidi, baptisan dan perjamuan kudus. Ketiga ibadah itu tidak lepas dari ibadah hari Minggu, karena ketiganya dilakukan pada hari Minggu atau hari-hari perayaan kalendaris gerejawi, dan urutannya sesudah mata acara khotbah dan pengumpulan persembahan. Menurut beliau, terjadi berbagai penyimpangan dalam melakukan ketiga ragam ibadah diatas. Dalam ketiganya ada isi mata acara yang telah mengaburkan hakekat injili dari sebuah tata ibadah yang injili.

A).Dalam ibadah naik sidi, menurut beliau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh calon konfirmanden itu telah memaksa mereka untuk berjanji ( “marpadan” ) mengiyakan dan melakukan apa-apa yang mustahil dilakukan tanpa salah seabagai manusia biasa, yaitu: mengakui firman Allah yang mereka pelajari sebagai jalan ke kehidupan ( pertanyaan I ), percaya kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus ( pertanyaan II ), bersedia berperilaku sesuai dengan iman ( haporseaon ) yang telah diakukan ( pertanyaan III ), bersedia menjauh dari segala macam dosa dan segala macam hal yang bertentangan dengan firman Allah, sampai akhir hayat ( pertanyaan IV ); bersedia menghadiri ibadah hari Minggu untuk mendengarkan firman Allah, dan juga bersedia setiap hari berdoa kepada `Allah ( V ); dan terakhir, bersedia mengikuti perjamuan kudus sebagai jalan untuk menguatkan iman ( VI ). Beliau mempertanyakan apakah layak Gereja itu seolah-olah punya hak dalam nama Allah untuk mendorong ( memaksa ) mereka berjanji di hadapan Allah dan jemaat, bahwa mereka tidak akan melepaskan diri dari Yesus sumber kehidupan itu ( “’Nada ra be morot au sian Jesus hangoluan’” ).

Penjelasan kritis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut beliau secara teologis tidak dapat dibenarkan, sebab adalah keyakinan umum bahwa manusia itu selalu cenderung untuk melarikan diri dari hadapan Allah. Kemudian, bagi F.Tiemeyer tidaklah benar secara teologis untuk mengundang mereka yang baru naik sidi itu untuk melakukan perjamuan kudus. Karena di situ ada unsur pemaksaan. Usul beliau ialah, supaya menghilangkan ke-enam pertanyaan itu, pertanyaan sehubungan dengan pengikatan janji itu. Mata acara pengakuan iman percaya sangatlah tepat untuk dipertahankan dan dilaksanakan. Sebagai ganti dari keenam pertanyaan yang bermuatan pemaksaan kehendak terhadap calon naik sidi, ini lebih baik diganti dengan himbauan atau bimbingan berdasarkan firman Allah. Kemudian, supaya acara perjamuan kudus dipisahkan dari acara naik sidi, dan dengan demikian keinginan yang tulus dari setiap anggota jemaat untuk mengikuti atau tidak mengikuti menjadi prioritas utama. Tentang keinginan supaya usia memasuki pelajaran naik sidi itu di geser ke tingkat usia yang lebih dewasa, hal ini sebaiknya dipikirkan secara psikologis – religi, tetapi kalau jawabannya dari segi teologi ialah, bahwa Roh itu bergerak kemana Dia inginkan. Dan sebagaimana beliau asumsikan, bahwa perubahan usia memasuki naik sidi itu dikaitkan dengan tujuan “lahir kembali” ( Neugeburt ), pada hal tentang lahir kembali itu tidak pernah bergantung pada usia seseorang.

B). Tentang ibadah baptisan, beliau mengedepankan pikiran beliau, bahwa dalam baptisan itu, Allah telah melakukan sebuah awal yang baru. Allah yang bertindak, bukan manusia. Bukan dengan cara magis, tetapi melalui firman yang anugerah itu. Dalam baptisan anak-anaklah memang paling nyata bahwa Allah yang bertindak, bukan manusia bersama Allah. Beliau memberikan alasan teologisnya, bahwa jauh sebelum manusia tahu secara sadar akan yang baik dan yang jahat, jauh sebelum kita manusia dapat memutuskan sesuatu untuk kita, kepada kita sudah jatuh sebuah keputusan melalui sebuah akta yang nampak, di dalam nama Allah. Dengan alasan demikian, beliau mengatakan bahwa anak baptisan itu melalui akta baptisan telah menerima secara utuh keselamatan dari Allah.

Usul perbaikan: Berdasarkan pemikiran teologis di atas, beliau melihat ada yang harus diperbaiki dalam rumusan-rumusan kata-kata resmi ( liturgy ) dalam mata acara baptisan itu. Beliau mempertanyakan, apakah bisa dipertanggungjawabkan ( teologis ), kalau para orang tua anak baptisan mengucapkan pengakuan percaya mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka? Apakah hal ini mengisyaratkan, bahwa manusia dapat membuat kepustusan sendiri atas kekuatannya sendiri. Dan mengapa Gereja menginjinkan para calon baptisan atau orang tua para calon baptisan ( anak-anak ) lebih dulu mengucapkan pengakuan percaya mereka? Apakah baptisan itu bergantung pada ( kemampuan ) iman manusia? Apakah kita tidak tahu, demikian beliau, bahwa baptisan hanya terjadi di atas dasar firman Allah, atas dasar perintah Kristus? Karena tanpa firman itu, air baptisan tetap air, dan tidak bakal ada baptisan, demikian beliau mengutibnya dari seorang teolog sezamannya. Dan terakhir, beliau memberi komentar atas kelemahan dari pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh para orangtua anak baptisan. Ketiga pertanyaan itu tidak memberi ruang untuk memikirkan hubungan antara pertobatan ( Busse ) dan baptisan, yang dikedepankan ialah hubungan antara baptisan dan pengajaran ( Schulunterricht ), antara baptisan dan perilaku yang terpuji ( guten Wandel )

C.) Sorotan berikut ialah tentang dasar teologis dan cara merayakan perjamuan kudus seperti tertuang dalam Agenda 1904. F.Tiemeyer memperkenalkan posisi teologis beliau, bahwa “perjamuan kudus menggambarkan kehadiran yang hidup dari Allah yang dinyatakan dalam Kristus ( die lebendige Gegenwart des in Christus geoffenbartes Gottes ). Di sini nampaklah cinta kasihNya ( seine Liebe ). Pemberian-Nya ( Sein Geben ). Ajakan-Nya ( Sein Werben ). Simpati-Nya kepada kita ( Seine Hingabe an uns ). Singkatnya EUXARISTI.” Beliau menambahkan lagi bahwa, perjamuan kudus adalah akta yang sesungguhnya, yang mendasar dalam mendirikan jemaat-Nya.

Penjelasan kritis: Berangkat dari pemahaman di atas, beliau melihat bahwa tugas yang paling sulit untuk para misionaris RMG / HKBP ialah membaharui tata ibadah perayaan perjamuan kudus yang sejak 1860-an telah dirayakan oleh jemaat-jemaat di HKBP. Namanya saja yaitu “ulaon na badia” ( karya yang kudus ) telah menciptakan pemahaman tentang perbuatan baik dari pihak manusia. Beliau menilai bahwa di sini sudah terjadi kesalahpahaman tentang perayaan perjamuan kudus. Kelima pertanyaan yang mau dijawab oleh jemaat sangat jelas mengedepankan kemauan baik ( guten Willen ) manusia, dan baru pada tempat yang kedua muncul kasih Allah dan kepedulian Allah Bapa didalam Anaknya Yesus Kristus. Beliau menekankan, bahwa upaya-upaya pertobatan kita manusia tidak akan memampukan kita menerima sakramen itu, melainkan hanya iman: “’diberikan dan dicurahkan bagimu’”. Beliau ingin kembali pada pemahaman jemaat mula-mula, di mana nampak unsur perayaan, bukan kelayakan manusia menerima atau belum layak menerimanya. Unsur perayaan itu sedemikian berharga, yang padananya ialah perayaan hari kematian dan pemakaman orang-orang percaya. Kekayaan karya perbuatan Allah dalam perjamuan kudus ( Abendmahl = perjamuan malam ) telah tertutupi dalam “ulaon na badia” ( karya kudus manusia ). Untuk itu beliau masih mengutib pandangan seorang teolog sezamannya, bahwa perjamuan malam itu adalah jaminan realitas Gereja dalam dunia kematian kita dan kepastian harapan akan hari, di mana kerinduan jemaat pengantin laki-laki digenapi oleh jamuan malam domba.


Read More......

Sejarah Tata Ibadah HKBP Bag VII

Tata Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya

7. Pdt.Dr/.Justin Sihombing.

Masih ada penjelasan tentang susunan mata cara tata ibadah minggu yang harus diperhatikan, yakni dari kalangan para pendeta HKBP masa kepemimpinan para misionaris RMG dan pada awal masa kemandirian HKBP ( sejak 10-11 Juli 1940 ). Diantara mereka ialah Pdt. M. Pakpahan dan Pdt. Dr.Justin Sihombing, Ephorus Emeritus kedua dari kalangan pendeta HKBP ( 1942-1962 ).
Pada kesempatan ini cukup kalau diambil pikiran dan penjelasan dari Justin Sihombing, yang dalam usia lanjut masih menyeselaikan sebuah buku tentang khotbah dan tata ibadah HKBP tahun 1963. Beliau melihat bahwa sedikitnya ada empat hal yang mendasar yang harus dipenuhi oleh sebuah tata ibadah Minggu.

Pertama, tata ibadah itu harus mencerminkan makna dan arti dari persekutuan kristiani,yakni “parsaoran ni Debata dohot huria-Na dohot parsaoran ni huria dohot Debata.” Artinya, persekutuan Allah dengan gereja-Nya dan persekutuan gereja dengan Allah.” Segala sesuatu yang tidak mendukung unsur hakiki, hendaknya dijauhkan, sebaliknya segala sesuatu yang mendukungnya hendaknya diupayakan. Lebih jauh lagi, beliau menekankan bahwa persektuan gereja dengan Allah, bukanlah persekutuan seseorang dengan Allah, karena itu apa yang hanya menguntungkan orang per-orang hendaknya jangan dilakukan dalam ibadah itu, tetapi segala sesuatu yang terjadi dalam ibadah, hendaknya berkaitan dengan kepentingan “hatopan” ( umum / public ). Beliau sangat mengedepankan arti dan makna sebuah “huria”, sebuah Gereja, persekutuan orang-orang percaya; Gereja yang aktif, bukan individunya orang –perorang. Ketika pemberitaan firman diberikan melalui khotbah, maka yang menjawab bukan individu, tetapi jemaat sekalipun bukan dengan suara yang kedengaran, tetapi melalui suara hati para pendengar khotbah itu. Beliau menjelaskan makna yang terdalam dari persekutuan itu dengan menerapkannya akan apa arti sebuah nyanyian atau paduan suara dalam ibadah. Beliau mengatakan, bahwa “rapna I do pangkal manang ojahan ni parendeon di bagasan parpunguan Kristen, ndada holan ende ni angka koor. Ai ndada holan na marende na arga, alai na rap marende I do. .. ai ia merande pe angka koor ala na dipasahat huria I do tu nasida…. Ingkon domu do parendeonnasida tu pangkilaan ni hria na mangutus nasida taringot tu ganjang ni ende, loguna dohot hata ni ende i. Asa ndang na bebas nasida mambahen lomo-lomona. ” Misalnya, dalam sebuah doa, kata yang digunakan ialah kata “kami”, bukan “saya”

Kedua, adapun caranya Allah bersekutu dengan gereja /jemaat-Nya ialah melalui manusia yang Allah utus bagi jemaat itu. Dan cara yang dipakai oleh utusan Allah hanya satu, yakni melalui pemberitaan firman itu ( “marhite sian na mangkatahon hata I sambing. ) Masih ada pendukungnya, yakni berupa symbol untuk lebih menekankan arti dan makna firman itu sendiri. Pada saat melayankan kedua sakramen, di sana muncul juga bebagai bahasa atau gerakan simbolis, misalnya pada saat memercikkan air baptisan dan mempersiapkan tanda-tanda nyata perjamuan kudus dalam rupa roti dan anggur, atau pada saat liturgis mengangkat kedua tangannya saat menyampaikan berkat Tuhan Allah; juga pada saat jemaat berdiri. Semuanya itu punya muatan simbolis. Beliau menekankan, bahwa muatan-muatan simbolis itu bukan untuk mensahkan apa yang dilayankan itu, hanya sebagai alat menolong penghayatan atau penerimaan sakramen itu.

Ketiga, dia yang berbicara ditengah-tengah persekutuan yang beribadah itu bertindak sebagai wakil jemaat untuk berbicara kepada Tuhan Allah melalui doa, atau sebagai wakil Allah menyapa jemaat itu melalui khotbah . Dan menurut beliau, mereka yang bertindak sebagai wakil Allah dan juga sebagai wakil jemaat, tidak perlu harus seorang pendeta atau guru , tetapi dia harus yang diangkat ( “pinabangkit” ) oleh jemaat itu; artinya, dia yang diberi oleh jemaat wewenang dan tugas untuk melakukannya. Seseorang tidak berhak mengangkat dirinya untuk berdiri di depan jemaat sebagai wakil Allah dan sekaligus sebagai wakil jemaat. Allah itu adalah Allah yang cinta keteraturan.

Keempat ( terakhir ), segala sesuatu yang terajdi dalam ibadah harus sesuai dengan kehadiran atau keberadaan ( “haadongon” ) Allah dalam persekutuan itu. Jemaat harus merasakan bahwa Allah hadir dari awal hingga akhir ibadah, bahwa jemaat itu bersekutu di hadapan Allah. Untuk itu,hedaknya diupayakan supaya ibadah itu dapat berjalan dengan keteduhan, jangan ada orang yang keluar masuk, jangan ada orang yang duluan keluar.

Beliau dalam memberikan penjelasan dan arti dari setiap mata acara ibadah , beliau mengacu pada tata ibadah dalam Agenda HKBP terakhir ( misalnya edisi 1998 ). Beliau tidak memberikan penjelasan kritis secara teologis-praktis sebagaimana dilakukan oleh F.Tiemeyer, tetapi menyampaikan penjelasan-penjelasan yang medukungnya dan mengingatkan jemaat khusunya para liturgis / pengkhotbah; sikap tidak sungguh-sungguh dan acak-acakan hendaknya dijauhkan. Misalnya, ketika jemaat bernyanyi, hendaklah jemaat merasakan bahwa melalui nyanyian itu jemaat ingin berbicara dengan Allah. Mustahil jemaat berbiacara dengan Allah dengan suara yang dilagukan secara tidak baik; makanya setiap anggota jemaat harus mengetahui melodi dari nyanyian dalam Buku Ende HKBP, karena itulah harta yang sangat berharga. Atau, ketika liturgis menyampaikan votum, “patut tarsunggul di bagasan rohana nang di roha ni huria I, angka na binahen ni Debata Ama na tarsurat di Padan na Robi sahat ro di nuaeng.” Artinya, mendengar nama Allah Tritunggal itu, maka liturgis dan jemaat terus merasakan dalam batin mereka alangkah besarnya dan banyaknya tindakan Allah demi keselamatan umat-Nya sepanjang zaman.


Read More......