Saturday, November 14, 2009

Sejarah Tata Ibadah HKBP Bag V

Tata Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya


5. Tinjauan F.Tiemeyer 1936.

Sebuah ceramah tentang ibadah HKBP, yang disampaikan oleh Misionaris F.Tiemeyer pada Konferensi Tahunan para misionaris Jerman ( RMG ) tahun 1936 di Padangsidempuan, jadi 72 tahun lampau. . Konferensi para misionaris RMG 1936 sedang membicarakan konsep baru dari Agenda HKBP dan mencari apa-apa saja yang harus ditambah atau dikurangi Agenda 1904 . Tetapi F.Tiemeyer tidak bermaksud memasuki tugas tersebut, bagi beliau yang lebih utama ialah untuk mengkaji kembali apa sebenarnya dasar teologis dari sebuah liturgy ibadah gereja yang evangelis ( injili ) atau dengan kata lain apa saja yang paling fundamental dari sebuah agenda gerejawi yang berdasarkan teologi reformatories M.Luther atau J.Calvin maupun para reformator lainnya. Dasar teologis yang sangat fundamental menurut beliau ialah bahwa karya Tuhan Allah sendiri yang selalu mendominasi sebuah tata ibadah yang otentik ( sebagaimana ditemukan kembali oleh para reformator M.Luther dan J.Calvin. Beliau mengedepankan pendirian beliau yang mengatakan bahwa upaya mencari makna dan hakekat sebuah “tata ibadah evangelis” ( “evangelische Gottesdienst” ) atau istilah yang lebih kita kenal dengan kata “injili” ( ibadah injili, dan kita memakai istilah ini untuk selanjutnya ) ialah memperlihatkan aksi jemaat yang menuinjukkan kepatuhannya terhadap Allah yang hidup itu. Karena arti tata ibadah yang paling mendasar ialah perbuatan Allah bersama jemaatNya ( umatNya ). TeguranNya dan pemberianNya, dan bukan kedatangan ( kehadiran ) kita dan itu terjadi selalu dalam sikap pertobatan dan iman. Di mana terjadi sebuah ibadah gerejawi ( “Gottesdienst” = ibadah Allah ), entah itu tarjadi dalam khotbah, sakramen atau liturgy, di sana selalu terjadi dalam nama Allah Tritunggal. Allah muncul di atas pentas. Allah bertindak, berbicara dan menghibur. Allah menghukum dan menghajar. Allah menengur dan mengampuni. Tetapi kalau kita mengatakan Allah, itu berarti bahwa kita tidak mengatakan manusia sekalipun yang nampak ialah manusia sendiri. Manusia yang nampak bekerja dalam sebuah ibadah, tetapi Allahlah yang hidup dan kudus itulah yang bertindak. Dan dalam hal ini kita harus mengatakan, bahwa tidak ada perbedaan antara pendeta ( pengkhotbah = “Prediger” ) dan liturgis. Di sini pendeta dan liturgis sebagai manusia biasa tidak bakal melewati batas antara Allah dan manusia. Allah telah menyatakan diriNya kepada manusia dan tidak bakal membagikan kemuliaan-Nya dengan siapapun dari antara manusia, termasuk bagi manusia yang melayankan ibadah gerejawi itu. Di sini terjadi suatu ketegangan ( teologis-liturgis ) didalam proses peribadahan evangelis itu ( “Spannung des evangelischen Gottesdienstes” ). Ketegangan itulah yang harus dicermati oleh setiap liturgi dan egenda gerejawi, termasuk liturgy dan agenda HKBP. Setiap upaya untuk membicarakan sebuah liturgy dan agenda gerejawi, hendaknya berawal dari perhatian akan ketegangan teologis – liturgis ini.

Sekilas pemantauan histories berbagai tata ibadah gerejawi yang pernah dipakai oleh Gereja – gereja sepanjang abad, telah dipaparkan oleh F.Tiemeyer dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa sepanjang sejarahnya Gereja-gereja itu selalu jatuh bangun dalam mempertahankan hal-hal yang fundamental dari sebuah tata ibadah seperti beliau kepdepankan tadi, yaitu yang paling utama ialah tindakan Allah, Allah yang bertindak, Allah yang hadir dan manusia merespons kehadiran Allah yang mulia dan agung itu. Dalam lima periode, beliau melihat Gereja-gereja itu jatuh bangun dalam mempergumulkan ke-evangelisan dari tata ibadah kristiani itu. Beliau mengibaratkan perjalanan dari tata ibadah evangelis itu telah melalui lima setasi / persinggahannya secara histories: Yerusalem, Roma, Wittenberg dan Geneva.

Zaman Israel. Pada setasi pertama di Yerusalem nampak, bahwa ibadah pada bait suci memperlihatkan kehadiran Allah yang hidup itu. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Israel selalau nampak bahwa sebuah tempat tertentu ( sebuah kemah nomadis tabut pada zaman perjalanan di gurun pasir atau sebuah tempat yang menetap pada zaman sebelum dan sesudah pembuangan ), fenomenanya tetap sama, yaitu “Allah hadir, mari kita sujud di hadapan-Nya!”, demikian yang terjadi pada awalnya. Ketika batas antara Allah dan manusia dilewati, maka para imam Israel atas kekuatan / kekuasaan jabatannya, mereka telah membangun ibadah untuk Allah, dan pada saat itulah menghilang kehadiran Allah. Kehadiran Allah telah menghilang, dan sebagai gantinya ialah ibadah ( “Gottesdienst” ) tanpa Allah. Kemudian utusan Allah yaitu Kristus datang memasuki sejarah bangsa Isarel. Firman Allah menjadi daging. Tetapi Kristus tidak diterima, manusia ingin menguasai Allah dalam bait suci. Kristus menjatuhkan hukuman. Bait Suci di Yerusalem musnah, tinggal puing-puing. Demikian F.Tiemeyer menggambarkan perubahan makna ibadah di Yerusalem, yang tadinya berpusat pada kehadiran Allah, tetapi oleh kehadiran para imam Israel tempat Allah telah direbut oleh para imam. Imam jadi pusat ibadah.

Zaman Kekristenan. Zaman Israel digantikan oleh zaman Kekristenan. F.Tiemeyer merujuk ke nats Alkitab Mat. 7, yang untuk beliau nats ini menunjukkan karakteristik dari pemberitaan Yesus : “sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” ( 7:29 ). Demikian beliau mengutibnya serta menambahkan, bahwa Yesus menerima kewibawaan / kuasa dari Allah; Yesus bukan mengandalkan wibawa / kuasa sendiri. Kini Allah kembali hadir dan bertindak dalam ibadah yang dipimpin oleh Yesus. Kehadiran Allah dipertegas lagi oleh nats Alkitab Luk.4: 21 :” Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: ‘Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya’”. Dan pada akhir hidup-Nya, demikian Tiemeyer – Yesus mendirikan Perjamuan Kudus ( “Abendmahl” ) sebagai ibadah. Rasul Paulus melanjutkan ibadah yang mengedepankan kehadiran Allah dalam ibadah Perjamuan Kudus: “ dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: "Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku! ( 1 Kor. 11:24 ) Inilah menurut beliau bentuk yang sangat sederhana yang dilayankan oleh Yesus, yaitu makan ( roti ) dan minum ( anggur ); bentuk yang sangat sederhana ini dipakai oleh Yesus untuk mencerminkan kebesaran dan kehadiran Allah yang berbuat itu. Inilah suatu ketegangan yang indah, yang nampak dalam ibadah yang dipimpin oleh Yesus: ketegangan antara unsur ( roti dan anggur ) yang bersifat sementara itu dan dalam bentuknya yang sederhana itu ( kata-kata yang biasa tanpa seremoni ) dengan kemuliaan yang abadi dari Tuhan Allah yang hidup itu. Namun ketegangan ini akhirnya sirna oleh ulah manusia yang tidak sabar dan rindu akan kehadiran Tuhan Allah. Lagi-lagi terjadi penyimpangan oleh ulah dan perbuatan para pejabat gerejawi abad ke-2. Kehadiran Allah dalam ibadah telah digantikan oleh kegiatan seremonial para pejabat gerejawi itu. Kehadiran Allah dalam Perjamuan Kudus telah digantikan oleh unsur-unsur yang diilahikan ( roti dan anggur ; “die vergotteten Elemente Brot und Wein”). Artinya, kini yang bertindak ialah manusia bukan lagi Allah. Imam maju ke depan dan mengorganisasi ibadah itu, menguasainya, bertindak dan memutuskan melalui seremonial yang saleh. Dalam hal ini, Tiemeyer menyimpulkan bahwa kini yang terjadi ialah: Ibadah – tanpa Allah ( “Gottesdienst – ohne Gott” ).

Zaman Romawi. Pusat ibadah Gereja Katolik Roma ialah Messe, yang pada hakekatnya adalah Perjamuan Kudus. Dalam Messe,menurut pemahaman beliau, Allah telah dimaterialisasikan ( “Gott ist dinglich geworden” ) dalam sebuah peti sacral yang dikenal dengan nama Hostie ( tempat roti yang sudah berubah jadi tubuh Kristus ). Melalui pelayanan ritus seorang imam, maka roti dan anggur itu telah diilahikan ( “vergotten” ). Ketegangan antara Allah dan manusia telah dihancurkan. Gereja yang merayakan itu memiliki, berkuasa atas Allah dalam peti sacral hostie. Kristus telah hadir salam peti tersebut. Gereja telah menguasai Allah. Gereja telah berkuasa atas Allah, bukan lagi sebaliknya Allah mengasai Gereja. Kejatuhan dalam dosa telah kembali terjadi di tempat kudus. Sekali lagi terjadilah : Kebaktian – tanpa Allah.

Zaman Reformasi abad ke-16. Menurut pemahaman Tiemeyer, tujuan para reformator ( M.Luther, J.Calvin, dll. ) bukanlah mereformasi kehidupan kultis gereja , sekalipun mereka menilai Messe itu sebagai suatu pengilahian ( “Abgotterei” ) dan oleh karenanya perlu ditiadakan. Bagi kedua reformator, Luther dan Calvin, adalah suatu hal yang sangat mendasar, bahwa tindakan Allah sendiri yang terjadi dalam sebuah ibadah dan hendaknya jangan ada yang merampok kemuliaan Allah dalam tempat suci. Ketegangan antara Allah dan manusia harus ditegakkan kembali: “Allah tidak bertempat tinggal di rumah bait suci buatan manusia” ( Kis.17 : 24 ), demikian beliau mengutib nas Alkitab. Dalam ibadah itu harus nyata adanya perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia, dan keduanya jangan dicampuradukkan, melainkan dalam ibadah itu harus nampak kekuatan dan anugerah Allah, bahwa Dia yang kudus itu mendekatkan diri kepada orang-orang berdosa dan Dia memang membutuhkan orang-orang berdosa dalam pelayanannya masing-masing. Dengan demikian Allah yang kembali hadir dalam ibadah sebagai Hakim dan juga sebagai Juru Selamat. Suara Allah yang mengatakan Tidak pada tindakan-tindakan penuh dosa kembali terdengar nyaring dalam ibadah, tetapi juga suaraNya yang mengatakan Ya berlaku bagi orang berdosa. Bagaimana caranya hal sedemikian rupa dapat terjadi dalam ibadah injili buat para reformator itu? Beliau mengatakan bahwa hal ini dapat terjadi hanya melalui firman Allah dan bukan melalui Messe. Sekali lagi beliau mengulangi, bahwa melalui Messe, dalam roti dan anggur yang telah diilahikan itu, Gereja telah menampilkan diri sebagai pemilik, sebagai yang mempunyai. Tetapi fireman Allah itu tak akan pernah dapat dimiliki atau dikuasai oelh siapapun, melainkan firman Allah itu mengajar supaya sabar dan berpengharapan. Beliau mengutib nas Alkitab Rom 8: 24 :” Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya.” ( “Wir leben im Glauben und nicht im Schauen” = Kita hidup dalam iman dan bukan dalam melihat dengan organ mata ). Menurut beliau, semua reformator sependapat akan arti dan makna sebuah ibadah yang injili / evangelis itu. Mereka beda hanya dalam menentukan bentuk luarnya. Perbedaan antara Luther, Calvin dan Zwingli hanya dalam bentuk luarnya, bukan secara kualitatif tetapi hanya secara kuantitatif.
Luther berpijak pada tradisi lama yaitu liturgi Messe ketika dia memperkenalkan tata ibadahnya, yaitu Messe Jerman ( “Deutsche Messe” = Messe berbahasa Jerman bukan lagi berbahasa Latin ). Tetapi bagi Luther Messe Jerman ini bukan dianggap bersifat hukum / aturan ibadah yang harus dipatuhi atau dilaksakan. Rujukan beliau untuk itu ialah kata pengantar buku Messe Jerman itu ( hal 227 cetakan I ).
Lain halnya dengan Calvin, karena Calvin mengambil pijakannya dari tradisi alkitabiah. Dalam hal ini, beliau tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa karakteristika dari tata ibadah calivinis adalah kebeningannya ( “Nuechternheit” ). Beliau mengetahui, bahwa ketika Calvin melayani di Strassburg beliau sudah mengenal sebuah buku nyanyian yang dikenal dengan nama Nyanyian Mazmur, dan buku nyanyian ini beliu perkenalkan kepada jemaatnya di Geneva sebagai “Nyanyian rakyat” ( Volksgesang ). Buku liturgi karangan Calvin tahun 1545 memanfaatkan Nyanyian Mazmur tersebut. Penilaian akan sebuah tata ibadah yang bening atau cerah, menurut Tiemeyer lebih tepat diberikan pada Zwingli yang menyusun sebuah tata ibadah yang berpusat pada firman Allah dan bukan pada nyanyian. Tetapi perdebatan ini diakhiri beliau dengan kutiban dari nas Alkitab dari 2 Kor. 4: 7: “ Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” Aspek kuantitatif dari sebuah tata ibadah adalah relative dan tidak mengurangi esensinya atau istilah yang beliau pakai “kualitasnya” sebuah tata ibadah.

Zaman pasca-reformasi. Menurut beliau terjadi juga penyimpangan dalam Gereja zaman pasca-reformasi di kalangan Gereja reformasi. Aliran Ortodoksi telah menjadikan tata ibadah itu sebagai suatu pemberitaan ajaran ( “Lehrverkuendigung” ). Firman Allah telah menjadi buku hukum / aturan ( “Gesetzbuch” ). Dan isinya telah disimpan dalam sebuah lemari buatan roh manusia. Tetapi, demikian beliau, Roh Allah tidak identik dengan roh manusia. Roh Allah berembus ke mana Dia inginkan. Roh Allah tidak mau berkompromi dengan roh manusia sekalipun ajaran yang benar itu dibutuhkan.
Aliran Ortodoksi ketika itu berseberangan dengan aliran Pietisme. Struktur pemikiran pietisme ialah “Mistik dan Injil”. Berangkat dari pemikiran inilah maka kaum Pietisme selalu menekankan kehidupan ( “Leben” ) dan tidak ajaran ( “Lehre”). Dan sikapnya terhadap Gereja resmi ( arus utama ) tidaklah besahabat, malahan anti-gereja, demikian beliau. Yang diutamakan bukan ajaran ortodoksi, tetapi kehidupan jiwa-jiwa dalam hubungan pribadi yang sangat hangat dan emosional dengan Allah, dengan kata-kata yang membelai seperti : “‘Yesus sang bayi yang cantik, buah hati yang setia.’” ( “’lieben Jesulein’, dem ‘treuen Herzlein’” ). Kembali beliau jumpai di sini suatu pencampuradukan perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia. Dosa dirasakan sangat menekan dan ini terjadi secara mistis. Dalam hal ini kebenaran hanya oleh iman sudah sangat menurun. Yang menjadi pergumulan pokok dalam kehidupan ini ialah bagiamana seseorang dapat meraih kekudusan / kesalehan. Dalam hal ini beliau mengatakan, bahwa yang terjadi di sini ialah bahwa manusialah yang mengambil prakarsa dan yang ingin memisahkan diri dari “’Dunia, Gereja dan Dosa’”, tetapi hasilnya ialah bahwa manusia tetap tinggal sebagai orang yang ditipu oleh dosa. Demikian penyimpangan yang terjadi dalam aliran atau kaum Pietisme.
Tetapi bukan hanya dalam gerakan kegerejaan, seperti dalam Pietisme itu terjadi penyimpangan; penyimpangan terjadi juga akibat aliran atau semangat Rasionalisme dan Kulturprotestantisme, sebagaimana masih menguasai pemikiran dan pola pikir manusia Barat sezaman para misionaris Jerman yang melayani di Tanah Batak. Atas kenyataan maka Tiemeyer tidak perlu membahasnya secara menditel, karena masih bagian pergumulan masa kininya mereka yang dalam Konferensi 1936 itu. Beliau hanya ingin mengangkat yang paling pokok dari kedua aliran itu yang mempengaruhi pola pikir dan sikap menggereja atau beragama ketika itu. Misalnya nilai-nilai kemanusiaan seperti kebaikan ( Tugend ), kesejahteraan ( Wohlfahrt ), solidaritas persaudaraan ( Bruederlichkeit ) dianggap sebagai ibadah – pengganti / ibadah – serap ( Ersatz-Gottesdienst ) manusia Barat saat itu, yang memang adalah anggota Gereja di Jerman saat itu. Dan sejak Schleiermacher ( seorang tokoh teolog abad ke-19 di Jerman ), demikian beliau, terjadilah pemutarbalikan: Allah yang bertindak bersama jemaat telah digeser oleh perbuatan jemaat yang sedang dipentaskan bersama Allah. Asumsi beliau yang beliau sampaikan ke tengah konferensi itu ialah: pola pikir Schleiermacher sangat menguasai diskusi tentang tata ibadah dan sedang mempengaruhi pola pikir teologis para pendeta di Jerman termasuk para misionaris Jerman di Tanah Batak, artinya juga mereka yang sedang mendiskusikan pembaharuan tata ibadah untuk Gereja Batak HKBP. Alasan beliau berbicara demikian ialah bahwa lahirnya Agenda Union yang lama ( die alte Unionsagende buat Gereja Senegeri Prusia atau lazim disebut Gereja Evangelis Union ) sangat banyak dipengaruhi oleh Teologi Schleiermacher, yang berpusat pada perasaan manusia yang sangat bergantung pada suatu kekuasaan diatasnya atau diluarnya ( “das schlechthinnige Abhaengigkeitsgefuehl” ). Dan menurut beliau, Agenda Union itulah yang dipakai saat menyusun tata ibadah Gereja Batak ( HKBP ) edisi pertama. Kapan edisi pertama dari Agenda HKBP diterbitkan, mencarinya masih tugas kita bersama.

Tiemeyer mengakhiri uraian histories itu dengan mengajukan dua hal yang perlu diperhatikan saat membicarakan revisi Agenda HKBP. Pertama bentuk apapun nanti yang dihasilkan oleh konferensi, maka yang penting ialah mempertahankan roh sejati dari tata ibadah Evangelis / Injili. Kedua harus jelas bahwa siapapun tidak memiliki wewenang seolah-olah dapat memiliki atau mengendalikan Allah, sebaliknya haruslah dikedepankan bahwa Allah yang bertindak dan kita manusia bukanlah orang yang benar tetapi yang dibenarkan melalui anugerahNya.


No comments:

Post a Comment