Saturday, November 14, 2009

Sejarah Tata Ibadah HKBP Bag VIII

Tata Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya

8. Tugas kita kini.

Beberapa masalah teologis dan praktis yang diliput dari paparan-paparan diatas, menjadi tugas Gereja masa kini. Di bawah ini akan disebut beberapa yang paling penting.

Pertama, adanya kecenderungan kearah pemahaman yang bersifat individualistis dan moralistis tentang “pengakuan dosa” dan tentang “Hukum Taurat” , seperti tercermin dalam doa-doa. Pertanyaan yang mungkin diajukan ialah, di mana akarnya mengapa demikian? Apakah karena pengaruh kehidupan yang “pietistic” abad-abad ke-18 dan ke-19, sekalipun F.Tiemeyer ingin menghindar dari bahaya Pietisme itu? Apakah ketegangan ( dialektis ) dari Injil dan Taurat masih tercermin dalam keseluruhan mata acara ibadah itu? Apakah tata ibadah hari Minggu (HKBP ) terlampau “cerah” ( “nuechtern” ) seperti diinginkan oleh J.Calvin - menurut pantauan Tiemeyer? Bagaimana caranya menerapkan apa yang diharapkan Tiemeyer, supaya firman Allah yang dikhotbahkan itu benar-benar “mengikat” dan sekaligus “membebaskan”? Inilah beberapa pertanyaan teologis dan praktis yang dituntut oleh refleksi akan dasar-dasar teologis dari tata ibadah edisi dulu ( 1904 ) dan kini ( 1998 ). Suatu masalah yang sulit untuk dikritik oleh F.Tiemeyer yaitu tentang ajaran-ajaran katekisasi yang berpusat pada upaya untuk merubah pikiran, karakter dan mental orang-orang Kristen ( Batak ) yang masih kuat dikuasai oleh hidup “kekafiran” yang memang mereka sudah tinggalkan secara formal melalui berbagai ibadah, baptisan kudus dan perjamuan kudus, dan melalui penggerejaan seluruh penggalan kehidupan mereka mulai lahir hingga kematian, sebagaimana tercermin dalam berbagai tata ibadah dalam Agenda 1904. Prioritas utama bagi setiap misionar ialah bagaimana supaya hidup setiap orang Kristen itu dapat digarami dan disinari oleh Injil dari dalam diri mereka masing-masing. Dengan tujuan merubah kehidupan dari dalam, dan bukan hanya dari luarnya. Dan mungkin semangat pietisme dari Eropa menjadi dambaan para misionaris,namun hanya dari segi pertobatan secara individualistic tanpa ada kepedulian pada dunia sekitar yang dilanda banyak maslah social dan ketidakadilan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat pribadi yang tercantum dalam tata ibadah baptisan, perjamuan kudus, dan juga pembacaan Hukum Taurat setiap Minggu mengisyaratkan tujuan penginjilan yang moralistic – individualistic itu. F.Tiemeyer tidak mengajukan pemikiran yang kritis tentang hal ini, tetapi sudah mengajukan dasar-dasar teologis yang bukan pististik moralistic, tetapi mengedepankan Injil yang mengikat dan sekaligus membebaskan itu, seperti beliau canangkan dalam ceramahnya 1936 itu. Tetapi beliau secara tidak langsung sudah merindukan adanya revisi tata ibadah yang lebih mengacu pada dasar-dasar teologis dan praktis yang lebih reformatories, bukan yang tetap melekat pada semangat penginjilan yang pietistic – moralistis, yang cenderung sangat menekankan Hukum ketimbang Injil. Asumsi kita ialah bahwa situasi jemaat-jemaat HKBP 2008 sudah berbeda dengan situasi jemaat-jemaat 1936. HKBP 1936 persis merayakan 75 tahun HKBP, dan tahun 2011 mendatang HKBP akan merayakan jubileum 150 tahun hari jadi HKBP yang sekaligus 150 tahun pengkristenan di Tanah Batak. Tata ibadah mendatang harus memperlihatkan semangat yang lebih mencerminkan kuasa Injil ketimbang kuasa Hukum, karena RohTuhan berembus kemana Roh itu inginkan.

Kedua, adanya kecenderungan untuk menyesuaikan cara pemakaian tata ibadah yang cenderung ingin memenuhi kebutuhan ( “selera” ) jemaat yang menginginkan sebuah ibadah yang lebih menyentuh budaya hidup yang didominasi pesta budaya / adat Batak, yang dinikmati bukan oleh pikiran tetapi oleh hati yang merasa. Diskusi kea rah ini sudah pernah disinggung oleh Rapat / Konferensi para misionaris Jerman tahun 1936 di Sipoholon. Antara lain disebutkan, bahwa dalam Konferensi tersebut muncul beberapa pikiran kritis: supaya diadakan beberapa model tata ibadah ( liturgy ), mwnghias dinding gereja dengan beragai gambar-gambar dari cerita Alkitab , supaya memperbanyak yanyanyian gereja , membuat tata ibadah di mana porsi khotbah dikurangi,dan mengedepankan aspek merayakan dalam ibadah, bentuk gedung gereja yang lebih megah, membuatkan ibadah gerejawi buat perayaan musim panen dan musim menanam. Inilah beberapa usul perbaikan tahun 1936. Dan usul perbaikan tahun 2008 ini akan memperhitungkan kritik jemaat terhadap tata ibadah hari Minggu HKBP serta upaya HKBP untuk menyambut keinginan jemaat akan sebuah tata ibadah yang lebih santai, lebih dekat pada persaan hati ketimbang pada pikiran. Berapa jauh Gereja dapat dan harus memasuki jiwa mistik dan misteri yang dijiwai oleh manusia Indonesia? Aspek mistik dan misteri ini diduga bakal semakin kuat oleh karena pengaruh ibadah / kultus Islam di Indonesia dan juga oleh pengaruh tata ibadah Kristen Kharismatik. Mungkin khotbah dan pengajaran yang disajikan itu terlampau didominasi oleh pikiran yang dingin dan kurang mempedulikan emosi ( “Gemuet” ) para pendengarnya, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian anggota jemaat gereja-gereja arus utama tarmasuk HKBP. Demikian beberapa pemikiran yang disampaikan, yang perlu dikaji ulang pada kesempatan ini. Pikiran kritis tahun 1936 dan tahun 2008 ini dapat menjadi kekuatan bagi para pelayan HKBP dalam membentuk beberapa bentuk tata ibadah hari minggu tetapi selalu menghargai hal-hal yang fundamental bagi sebuah tata ibadah injili. Hal ini akan dilihat lebih lanjut dari uraian berikutnya dalam paparan ini.

Ketiga, Pertanyaan yang menyoroti cara-cara pemakaian yang tidak lagi mendukung hakekat injili dari ibadah Minggu, seperti terjadi tahun 1936 itu, semakin mengemuka dan semakin nyaring pada zaman, di mana kita hidup, terutama sejak gerakan Kristen Kharismatik memasuki kehidupan beribadah anggota-anggota jemaat dari gereja-gereja arus utama di Indonesia sejak tahun 1970-an. Memudarnya keheningan yang berpusat pada kehadiran Tuhan Allah yang bertindak dan respon manusia yang berdosa sekaligus diampuni dosanya, manusia yang bebas oleh Injil dan sekaligus terikat oleh tuntutan Hukum Allah ( Taurat ). Penyebabnya, a.l. banyaknya paduan suara yang mempersembahkan lagu-lagu pujian yang tidak mendukung mata acara ibadah, warta jemaat yang terlampau bertele-tele, kesiapan para liturgis untuk membacakan sekaligus menghayati mata acara ibadah, banyaknya pengumpulan dana melalui kantong-kantong persembahan, khotbah yang kurang focus dan terlampau dogmatis, praktek lelang yang melelahkan dan menonjolkan kompetisi antara yang melakukan lelang, dll. Pertanyaan yang harus dijawab ialah, bagaimana caranya mengembalikan keheningan itu, keteraturan, kehadiran Allah yang bertindak, pelayanan Yesus Kristus yang tidak suka dilayani, gerakan Roh Kudus yang seperti angin, yang tidak bisa dikendalikan upaya manusia secara ritus atau mistis, sehingga mata acara ibadah itu mengalir seperti air yang menyejukkan pikiran dan hati para pengunjung ibadah, sehingga mereka benar-benar bertemu dengan Tuhan Allah yang mengundang mereka memasuki rumah Allah? Bagaimana membentuk sebuah tata ibadah yang mencerminkan keseimbangan antara makanan pikiran ( dogmatis / teologis ) dan makanan hati / emosi, kesembangan antara yang cerah dan yang emosional – selebritis, keseimbangan antara yang penuh keheningan dan yang bersemangat perayaan penuh suka cita? Bentuk tata ibadah yang tetap hikmat dan mulia masih diinginkan oleh sebagian anggota jemaat gereja arus utama termasuk HKBP. Inilah seperangkat pertanyaan yang bersifat teologis dan praktis. Hadirnya kelompok-kelompok paduan suara dalam ibadah minggu hendaknya mendukung dasar-dasar terologis dari sebuah ibadah injili itu, bukan sebaliknya mengaburkannya, demikian juga mata acara lainnya, seperti isi warta jemaat.

Keempat, perlunya mencermati pertanyaan-pertanyaan kritis tahun 1936 yang dikemukakan oleh F.Tiemeyer sebagai suatu cara memperkaya diskusi tahun 2008 ini. Beliau mengangkat pertanyaan-pertanyaan kritis yang beliau ajukan pada pemahaman akan bagian-bagian liturgy lainnya, yang tak terpisahkan dari liturgy ibadah hari Minggu dan hari-hari kegerajaan lainnya menurut kalender gerejawi sepanjang abad itu. Beliau menyoroti keabsahan teologis dan praktis dari ibadah yang menyangkut: ibadah naik sidi, baptisan, pemberkatan nikah, perjamuan kudus, pemakaman, pengucilan, dan ordinasi pendeta. Pada kesempatan ini akan diambil sorotan beliau tentang naik sidi, baptisan dan perjamuan kudus. Ketiga ibadah itu tidak lepas dari ibadah hari Minggu, karena ketiganya dilakukan pada hari Minggu atau hari-hari perayaan kalendaris gerejawi, dan urutannya sesudah mata acara khotbah dan pengumpulan persembahan. Menurut beliau, terjadi berbagai penyimpangan dalam melakukan ketiga ragam ibadah diatas. Dalam ketiganya ada isi mata acara yang telah mengaburkan hakekat injili dari sebuah tata ibadah yang injili.

A).Dalam ibadah naik sidi, menurut beliau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh calon konfirmanden itu telah memaksa mereka untuk berjanji ( “marpadan” ) mengiyakan dan melakukan apa-apa yang mustahil dilakukan tanpa salah seabagai manusia biasa, yaitu: mengakui firman Allah yang mereka pelajari sebagai jalan ke kehidupan ( pertanyaan I ), percaya kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus ( pertanyaan II ), bersedia berperilaku sesuai dengan iman ( haporseaon ) yang telah diakukan ( pertanyaan III ), bersedia menjauh dari segala macam dosa dan segala macam hal yang bertentangan dengan firman Allah, sampai akhir hayat ( pertanyaan IV ); bersedia menghadiri ibadah hari Minggu untuk mendengarkan firman Allah, dan juga bersedia setiap hari berdoa kepada `Allah ( V ); dan terakhir, bersedia mengikuti perjamuan kudus sebagai jalan untuk menguatkan iman ( VI ). Beliau mempertanyakan apakah layak Gereja itu seolah-olah punya hak dalam nama Allah untuk mendorong ( memaksa ) mereka berjanji di hadapan Allah dan jemaat, bahwa mereka tidak akan melepaskan diri dari Yesus sumber kehidupan itu ( “’Nada ra be morot au sian Jesus hangoluan’” ).

Penjelasan kritis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut beliau secara teologis tidak dapat dibenarkan, sebab adalah keyakinan umum bahwa manusia itu selalu cenderung untuk melarikan diri dari hadapan Allah. Kemudian, bagi F.Tiemeyer tidaklah benar secara teologis untuk mengundang mereka yang baru naik sidi itu untuk melakukan perjamuan kudus. Karena di situ ada unsur pemaksaan. Usul beliau ialah, supaya menghilangkan ke-enam pertanyaan itu, pertanyaan sehubungan dengan pengikatan janji itu. Mata acara pengakuan iman percaya sangatlah tepat untuk dipertahankan dan dilaksanakan. Sebagai ganti dari keenam pertanyaan yang bermuatan pemaksaan kehendak terhadap calon naik sidi, ini lebih baik diganti dengan himbauan atau bimbingan berdasarkan firman Allah. Kemudian, supaya acara perjamuan kudus dipisahkan dari acara naik sidi, dan dengan demikian keinginan yang tulus dari setiap anggota jemaat untuk mengikuti atau tidak mengikuti menjadi prioritas utama. Tentang keinginan supaya usia memasuki pelajaran naik sidi itu di geser ke tingkat usia yang lebih dewasa, hal ini sebaiknya dipikirkan secara psikologis – religi, tetapi kalau jawabannya dari segi teologi ialah, bahwa Roh itu bergerak kemana Dia inginkan. Dan sebagaimana beliau asumsikan, bahwa perubahan usia memasuki naik sidi itu dikaitkan dengan tujuan “lahir kembali” ( Neugeburt ), pada hal tentang lahir kembali itu tidak pernah bergantung pada usia seseorang.

B). Tentang ibadah baptisan, beliau mengedepankan pikiran beliau, bahwa dalam baptisan itu, Allah telah melakukan sebuah awal yang baru. Allah yang bertindak, bukan manusia. Bukan dengan cara magis, tetapi melalui firman yang anugerah itu. Dalam baptisan anak-anaklah memang paling nyata bahwa Allah yang bertindak, bukan manusia bersama Allah. Beliau memberikan alasan teologisnya, bahwa jauh sebelum manusia tahu secara sadar akan yang baik dan yang jahat, jauh sebelum kita manusia dapat memutuskan sesuatu untuk kita, kepada kita sudah jatuh sebuah keputusan melalui sebuah akta yang nampak, di dalam nama Allah. Dengan alasan demikian, beliau mengatakan bahwa anak baptisan itu melalui akta baptisan telah menerima secara utuh keselamatan dari Allah.

Usul perbaikan: Berdasarkan pemikiran teologis di atas, beliau melihat ada yang harus diperbaiki dalam rumusan-rumusan kata-kata resmi ( liturgy ) dalam mata acara baptisan itu. Beliau mempertanyakan, apakah bisa dipertanggungjawabkan ( teologis ), kalau para orang tua anak baptisan mengucapkan pengakuan percaya mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka? Apakah hal ini mengisyaratkan, bahwa manusia dapat membuat kepustusan sendiri atas kekuatannya sendiri. Dan mengapa Gereja menginjinkan para calon baptisan atau orang tua para calon baptisan ( anak-anak ) lebih dulu mengucapkan pengakuan percaya mereka? Apakah baptisan itu bergantung pada ( kemampuan ) iman manusia? Apakah kita tidak tahu, demikian beliau, bahwa baptisan hanya terjadi di atas dasar firman Allah, atas dasar perintah Kristus? Karena tanpa firman itu, air baptisan tetap air, dan tidak bakal ada baptisan, demikian beliau mengutibnya dari seorang teolog sezamannya. Dan terakhir, beliau memberi komentar atas kelemahan dari pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh para orangtua anak baptisan. Ketiga pertanyaan itu tidak memberi ruang untuk memikirkan hubungan antara pertobatan ( Busse ) dan baptisan, yang dikedepankan ialah hubungan antara baptisan dan pengajaran ( Schulunterricht ), antara baptisan dan perilaku yang terpuji ( guten Wandel )

C.) Sorotan berikut ialah tentang dasar teologis dan cara merayakan perjamuan kudus seperti tertuang dalam Agenda 1904. F.Tiemeyer memperkenalkan posisi teologis beliau, bahwa “perjamuan kudus menggambarkan kehadiran yang hidup dari Allah yang dinyatakan dalam Kristus ( die lebendige Gegenwart des in Christus geoffenbartes Gottes ). Di sini nampaklah cinta kasihNya ( seine Liebe ). Pemberian-Nya ( Sein Geben ). Ajakan-Nya ( Sein Werben ). Simpati-Nya kepada kita ( Seine Hingabe an uns ). Singkatnya EUXARISTI.” Beliau menambahkan lagi bahwa, perjamuan kudus adalah akta yang sesungguhnya, yang mendasar dalam mendirikan jemaat-Nya.

Penjelasan kritis: Berangkat dari pemahaman di atas, beliau melihat bahwa tugas yang paling sulit untuk para misionaris RMG / HKBP ialah membaharui tata ibadah perayaan perjamuan kudus yang sejak 1860-an telah dirayakan oleh jemaat-jemaat di HKBP. Namanya saja yaitu “ulaon na badia” ( karya yang kudus ) telah menciptakan pemahaman tentang perbuatan baik dari pihak manusia. Beliau menilai bahwa di sini sudah terjadi kesalahpahaman tentang perayaan perjamuan kudus. Kelima pertanyaan yang mau dijawab oleh jemaat sangat jelas mengedepankan kemauan baik ( guten Willen ) manusia, dan baru pada tempat yang kedua muncul kasih Allah dan kepedulian Allah Bapa didalam Anaknya Yesus Kristus. Beliau menekankan, bahwa upaya-upaya pertobatan kita manusia tidak akan memampukan kita menerima sakramen itu, melainkan hanya iman: “’diberikan dan dicurahkan bagimu’”. Beliau ingin kembali pada pemahaman jemaat mula-mula, di mana nampak unsur perayaan, bukan kelayakan manusia menerima atau belum layak menerimanya. Unsur perayaan itu sedemikian berharga, yang padananya ialah perayaan hari kematian dan pemakaman orang-orang percaya. Kekayaan karya perbuatan Allah dalam perjamuan kudus ( Abendmahl = perjamuan malam ) telah tertutupi dalam “ulaon na badia” ( karya kudus manusia ). Untuk itu beliau masih mengutib pandangan seorang teolog sezamannya, bahwa perjamuan malam itu adalah jaminan realitas Gereja dalam dunia kematian kita dan kepastian harapan akan hari, di mana kerinduan jemaat pengantin laki-laki digenapi oleh jamuan malam domba.


No comments:

Post a Comment